Pagi itu, Ain duduk di bale rumahnya sambil memakai sepatunya. Warnanya hitam mengilap, ada pita kecil di bagian atasnya. Wajah Ain cemberut.
“Kenapa cemberut aja, Nak?” tanya Pak Karyo, bapaknya, sambil menggendong cangkul. Ia baru saja mau berangkat ke sawah, tangan kananya menurunkan cangkul lalu menghampiri Ain dan duduk disebelahnya.
“Aku nggak nyaman pakai sepatu terus, Pak,” jawab Ain pelan. “Kakiku panas. Serasa dipenjara. Enakan nyeker.”
Pak Karyo tertawa kecil. “Lho, itu kan sepatu sekolah. Harus dipakai biar rapi.”
Ain menggembungkan pipinya. “Tapi, Pak… kalau aku terbiasa pakai sepatu terus, nanti aku jadi malas nyeker. Kalau udah malas nyeker, nanti aku malas juga bantu Bapak ke sawah.”
Pak Karyo berhenti tertawa. Ia menatap anaknya yang polos itu. “Heh, anak Bapak ini lucu juga pikirannya,” katanya sambil mengacak-acak rambut Ain. “Kalau sekolah, pakai sepatu. Kalau ke sawah, nyeker. Dua-duanya boleh.”
Ain masih cemberut.
Pak Karyo tersenyum hangat. “Nggak apa-apa, Nak. Bapak malah senang kamu sekolah. Bapak pengin kamu belajar banyak hal biar hidupmu nanti nggak cuma di sawah. Tapi jangan lupa, tanah ini moyang kita. Dari sini kita belajar dan bekerja keras.”
Ain menatap sawah yang hijau di kejauhan. Sisa-sisa embun pagi masih menempel di daun-daun padi. Ia tersenyum kecil, lalu tiba-tiba berdiri.
“Kalau gitu, sehabis pulang sekolah aku mau bantu Bapak dulu ke sawah, nanti sepatunya aku bawa aja di leher, ya!” katanya sambil meminta persetujuan bapaknya.
Pak Karyo tertawa lebar. “Boleh! Tapi jangan sampai jatuh di lumpur, nanti ibumu marah!”
Setelah pulang sekolah, mereka berdua berjalan menuju ke sawahnya. Keduanya nyeker telanjang kaki menginjak tanah sawah yang dingin. Di leher Ain, sepatu hitam itu bergoyang pelan. Ain tertawa-tawa ceria setiap kali kakinya terperosok di lumpur, sementara Pak Karyo tersenyum bahagia melihat tingkah anaknya.
Udara segar berhembus menerpa keduanya. Pak Karyo masih memikirkan ucapan anaknya. Dia bertanya-tanya, benar juga omongan Si Ain. Kalau sejak kecil biasa menggunakan sepatu, menggunakan seragam, nanti bagaimana dia mau bekerja ke sawah? Siapa yang mengatur ini semua? Apakah anak-anak ini akan dijadikan generasi buruh pabrik semua? Atau buruh migran? Terus nanti siapa melanjutkan petani? Sementara semua kebijakan seperti mengikat leher petani. Pupuk mahal, racun hama mahal, air harus beli, panen pake mesin, harga gabah sering anjlok.
Waduh! lama-lama bisa habis generasi petani?













