Masruin duduk diam di atas perahu tuanya yang sudah mulai lapuk, bersandar di sisi Sungai Kampung Pasir Putih, Cilamaya Kulon. Laut Karawang terbentang di hadapannya, coklat, biru dan tenang, seolah tak ada apa-apa. Tapi bagi Masruin, di balik ketenangannya, laut itu menyimpan luka yang membatin.
Sudah dua bulan ia tak melaut. Bukan karena malas, tapi karena laut tak lagi memberi harapan.
“Sudah berbulan-bulan rajungan hilang lagi, Kang,” bisik Maman, tetangganya sesama nelayan, duduk di buritan perahu. “Bekas tumpahan minyak itu masih bau. Rajungan memang tak mau mendekat kalau air laut sudah tercemar.”
Masruin hanya terdiam membatu. Ia tak punya kata-kata. Yang ia punya hanyalah rasa sesak yang makin hari makin menghimpit dadanya.
Setahun terakhir, laut tak lagi bersahabat. Terumbu karang rusak, proyek pipa bawah laut menambah pencemaran, dan rajungan—sumber nafkah utama—menghilang entah ke mana. Tangkapan menurun drastis, harga solar tetap tinggi, dan warung tempat berutang sudah mulai enggan mencatat. Tagihan Bank Emok mulai meresahkan.
“Kita demo seperti Malih Tongtong ngomong sama Bolot. Huh kalau begini terus, dapur nggak ngebul, Man?” gumam Masruin, suaranya parau, seperti karat di besi tua.
Angin kencang dan ombak besar menandai musim barat. Sejak awal tahun membuat nelayan terkurung di darat. Hari-hari berlalu tanpa melaut, tanpa pemasukan. Di rumah, Aminah, istrinya, menghitung beras yang tersisa: dua liter.
Aminah adalah perempuan yang sabarnya seperti bumi. Tapi bahkan bumi pun bisa gempa. Dan hari itu, kesabaran Aminah mulai habis.
“Aku akan pergi,” katanya pelan tapi tegas. “Kakakku di Cilempung bilang ada sponsor yang bisa memberangkatkan ke Arab Saudi.”
Masruin mendongak, wajahnya pucat. “Tidak, Minah! Aku tidak mau kau jauh. Aku janji, besok aku akan cari pinjaman lagi. Aku juga akan nekat melaut lebih jauh.”
“Pinjaman dari siapa lagi, Kang?” Aminah meraih tangan suaminya. Air matanya jatuh, bukan karena sedih, tapi karena terpaksa. “Kita butuh uang untuk sekolah anak, untuk melunasi utang di warung, di rentenir, di Bank Emok! Ini satu-satunya jalan agar kita bisa bertahan.”
Masruin tak menjawab. Ia hanya memeluk Aminah malam itu, erat, seolah ingin menahan waktu agar tak bergerak.
Sebulan kemudian, Pantai Pasir Putih menyaksikan perpisahan yang tak diinginkan. Masruin memeluk Aminah untuk terakhir kalinya. Aroma laut yang biasanya menenangkan kini terasa asin bercampur air mata.
Mobil travel yang membawa Aminah menuju bandara perlahan menjauh. Masruin berdiri sendiri di tepi pantai, punggungnya terguncang. Ia tahu, Aminah pergi bukan karena ingin, tapi karena hidup memaksanya.
Laut memang tetap tenang. Tapi di dalam hatinya baru saja diterpai badai.













