Jakarta — Komnas Perempuan menyatakan akan melakukan pemantauan intensif terhadap kasus memilukan yang menimpa Om (31), Pekerja Migran asal Karangbahagia Kabupaten Bekasi, yang mengalami luka serius akibat dipaksa mengangkut 15 galon air setiap hari dari lantai satu ke lantai tiga di tempat kerjanya di Yanbu, Arab Saudi. Jahitan bekas operasi di perutnya jebol, pemerintah harus bergerak cepat.
Komisioner Komnas Perempuan, Irwan Setiawan, menyebut bahwa kasus ini bukan sekadar pelanggaran ketenagakerjaan, tetapi mengandung indikasi kuat tindak pidana perdagangan orang (TPPO) dan penempatan ilegal.
“Setelah menerima aduan resmi, kami akan gas! pemerintah tidak boleh diam, harus hadir dan gercep menangani kekerasan terhadap perempuan, apalagi perempuan pekerja migran,” tegas Irwan.
Pemerintah Harus Bertanggung Jawab
Komnas Perempuan, sesuai mandat Peraturan Presiden No. 8 Tahun 2024, memiliki kewenangan untuk melakukan pemantauan, pencarian fakta, dan pendokumentasian kekerasan terhadap perempuan. Irwan mendesak agar KP2MI, Kementerian Luar Negeri, dan Kepolisian RI segera berkoordinasi dan mengambil langkah konkret.
“Kami ingin agar penanganan kasus Ibu Om berjalan efektif dan tidak berlarut-larut. Ini soal nyawa dan martabat,” ujarnya.
Dugaan Penempatan Ilegal dan TPPO
Ketua Umum Persatuan Buruh Migran Indonesia, Anwar Ma’arif, mengungkap bahwa kasus ini melibatkan dugaan penempatan ilegal oleh seorang perekrut lapangan bernama H. Deni asal Karawang dan seorang bos dari Condet, Jakarta Timur. Ia menyebut setidaknya empat pasal yang dilanggar:
- Pasal 81, 83, dan 86 UU No. 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia
- Pasal 4 UU No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan TPPO
Ancaman hukum tidak main-main: penjara hingga 15 tahun dan denda Rp15 miliar bagi pelaku penempatan ilegal dan eksploitasi.
“Ini bukan sekadar pelanggaran administratif. Ini eksploitasi manusia. Instansi dan aparat pemerintah harus berani menindak!” tegasnya
Di Mana Negara Saat Perempuan Pekerja Migran Terluka?
Kasus Om adalah cermin retak dari sistem pelindungan yang belum menyentuh akar. Ia dikirim ke negara yang masuk kategori tertutup untuk penempatan PMI, melanggar Pasal 86 huruf (b) UU PPMI. Ia dipaksa bekerja di luar kapasitas fisiknya, tanpa pelindungan medis, hukum, atau sosial.
“Jangan tunggu korban berikutnya. Jangan tunggu video viral baru bergerak. Ini saatnya instansi pemerintah dan aparatnya membuktikan bahwa pelindungan bukan sekadar slogan,” pungkas Anwar Ma’arif.








